scrimshaw – Kalimantan Selatan tidak hanya dikenal dengan kekayaan alam dan sungainya yang membelah kota, tapi juga dengan satu warisan budaya yang begitu kental akan nilai tradisi dan hiburan: Mamanda. Seni pertunjukan ini merupakan cermin dari kebijaksanaan lokal, jenaka namun mendidik, dan menjadi bagian penting dari identitas budaya suku Banjar. Di tengah gempuran hiburan digital dan modern, Mamanda menjadi saksi hidup bagaimana masyarakat Kalimantan Selatan menjaga warisan leluhurnya tetap hidup dan relevan.
Asal Usul Mamanda: Dari Balairung Istana ke Panggung Rakyat
Nama “Mamanda” bukanlah sembarang nama. Kata ini memiliki akar dari budaya Banjar, di mana “mama” atau “mamarina” berarti paman, sementara “nda” merupakan bentuk kehormatan. Dalam struktur kerajaan, Mamanda adalah sebutan untuk para penasihat atau kerabat dekat raja yang berperan penting dalam pengambilan keputusan. Seni pertunjukan ini pun mencerminkan suasana kerajaan, lengkap dengan tokoh raja, perdana menteri, panglima, dan penasihat kerajaan.
Berbeda dengan pertunjukan kerajaan Eropa yang kaku dan megah, Mamanda menghadirkan suasana kerajaan yang penuh warna, jenaka, dan interaktif. Penonton diajak tertawa, berpikir, bahkan sering kali ikut menyela jalannya pertunjukan dengan candaan spontan. Ini menunjukkan bahwa Mamanda bukan hanya teater, tetapi juga wadah komunikasi sosial antara pemain dan masyarakat.
Struktur Pertunjukan yang Sarat Makna
Mamanda bukan pertunjukan yang sembarangan disusun. Ia memiliki struktur naratif yang khas, yang diawali dengan lagu pembuka sebagai pengantar suasana. Kemudian muncul bagian ladon atau konon, yaitu narasi yang menjelaskan latar cerita dan konflik. Dilanjutkan dengan perkenalan tokoh satu per satu secara teatrikal, biasanya diselingi lelucon atau pantun jenaka khas Banjar.
Konflik dalam Mamanda umumnya berkutat pada kisah kerajaan yang di serang musuh, urusan cinta terlarang, atau keinginan rakyat yang tak kunjung di dengar. Namun, semua konflik ini di sajikan dengan bumbu humor dan sindiran sosial. Akhirnya, pertunjukan di tutup dengan bagian babujukan atau penyelesaian konflik, di mana kebaikan selalu menang dan kedamaian kembali hadir di kerajaan.
Bahasa Banjar Sebagai Identitas Kultural
Salah satu hal yang membuat Mamanda begitu otentik adalah penggunaan bahasa Banjar dalam setiap dialog dan narasi. Bahasa ini bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga media untuk menyampaikan filosofi hidup orang Banjar. Ungkapan-ungkapan bijak, pantun lucu, hingga sindiran tajam sering kali muncul dalam percakapan para tokoh.
Dengan begitu, Mamanda juga berperan dalam pelestarian bahasa daerah, yang kini mulai terpinggirkan oleh dominasi bahasa Indonesia dan bahasa asing. Banyak anak muda Kalimantan Selatan yang belajar kembali bahasa Banjar lewat Mamanda, baik sebagai penonton maupun pelaku seni.
Peran Musik dan Kostum dalam Menghidupkan Cerita
Pertunjukan Mamanda di iringi oleh alat musik tradisional seperti biola, gendang, rebana, dan gambus. Musik tidak hanya menjadi latar, tetapi juga elemen penting yang memperkuat emosi cerita. Saat suasana kerajaan sedang damai, musik mengalun lembut. Saat terjadi pertarungan atau perdebatan, musik berubah menjadi cepat dan tegang.
Kostum yang di kenakan para pemain juga sangat mencolok dan berwarna-warni. Mereka mengenakan pakaian ala kerajaan dengan mahkota, jubah panjang, dan selendang khas Banjar. Tampilan ini menambah daya tarik visual dan membantu membedakan peran masing-masing tokoh.
Fungsi Ganda: Hiburan dan Edukasi
Sejak dulu, Mamanda bukan hanya hiburan malam di lapangan desa. Ia juga menjadi media edukasi yang sangat kuat. Lewat pertunjukan yang menyenangkan, Mamanda menyisipkan pesan moral tentang keadilan, kejujuran, kepemimpinan yang baik, hingga pentingnya musyawarah dalam menyelesaikan masalah.
Tokoh raja dalam Mamanda biasanya di gambarkan sebagai sosok bijak yang tidak semena-mena, sementara penasihat dan panglima adalah orang-orang yang menyuarakan kepentingan rakyat. Di sinilah letak kecerdasan Mamanda: menyampaikan kritik sosial secara halus dan cerdas, tanpa membuat pihak tertentu merasa di serang.
Perjuangan Melestarikan Mamanda di Era Modern
Sayangnya, seperti banyak kesenian tradisional lainnya, Mamanda sempat mengalami masa surut. Masuknya hiburan modern, televisi, dan kini media sosial, membuat generasi muda perlahan melupakan panggung rakyat ini. Banyak kelompok seni Mamanda bubar karena minim penonton dan dukungan.
Namun, harapan belum padam. Beberapa komunitas seni, sekolah, hingga dinas kebudayaan Kalimantan Selatan kini aktif menghidupkan kembali Mamanda. Mereka mengadakan pelatihan, festival, dan pertunjukan rutin di kampus dan ruang publik. Bahkan, Mamanda mulai masuk ke panggung digital lewat video pendek di YouTube dan TikTok.
Mamanda sebagai Warisan Budaya Takbenda
Pemerintah Indonesia telah menetapkan Mamanda sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda (WBTb) dari Kalimantan Selatan. Pengakuan ini bukan hanya bentuk pelestarian administratif, tetapi juga ajakan untuk masyarakat luas agar lebih menghargai dan mendukung seni tradisional.
Sebagai bagian dari identitas budaya Nusantara, Mamanda tidak boleh hanya di kenang sebagai masa lalu. Ia harus terus di mainkan, di hidupkan, dan di kembangkan agar tetap menjadi cermin nilai-nilai luhur bangsa yang berlandaskan musyawarah, tawa, dan kebijaksanaan.
Mamanda Adalah Cerminan Kearifan Lokal yang Harus Dijaga
Dalam dunia yang semakin cepat dan digital, Mamanda hadir sebagai pengingat bahwa hiburan sejati tidak selalu berasal dari layar, tetapi dari panggung rakyat yang sarat makna. Seni teater Mamanda dari Kalimantan Selatan bukan sekadar tontonan, tetapi juga tuntunan. Melalui kisah-kisah kerajaan yang lucu, jenaka, dan mengandung pesan moral, Mamanda mengajarkan kita tentang pentingnya mendengar suara rakyat, menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, dan tetap menjunjung nilai-nilai kebaikan.
Mamanda bukan milik Kalimantan Selatan semata, tetapi milik kita semua—warisan budaya Nusantara yang tak ternilai.