scrimshaw – Di tengah modernisasi Jakarta yang terus menggeliat, terdapat sebuah bentuk seni pertunjukan rakyat yang masih mampu memancing gelak tawa sekaligus menyampaikan kritik sosial yang tajam—Lenong Betawi. Seni teater tradisional ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya suku Betawi, dan hingga kini masih mempertahankan pesonanya sebagai hiburan rakyat yang merakyat, jenaka, dan sarat makna.
Lenong adalah bentuk teater yang berkembang di kalangan masyarakat Betawi sejak akhir abad ke-19. Pertunjukan ini disampaikan dalam bahasa Betawi yang khas, dipenuhi dengan dialog spontan dan improvisasi, serta diiringi musik tradisional gambang kromong. Tidak seperti teater formal yang memiliki naskah baku dan struktur panggung yang megah, Lenong justru lahir dari kesederhanaan. Ia tampil di panggung seadanya, dengan peralatan minimal, namun kaya akan humor dan pesan kehidupan.
Sejarah Lenong: Lahir dari Rakyat, Untuk Rakyat
Asal-usul Lenong berakar dari bentuk hiburan rakyat yang muncul di kampung-kampung Betawi pada akhir abad ke-19. Pada masa itu, masyarakat Betawi memadukan cerita rakyat, sindiran sosial, dan musik tradisional untuk membentuk sebuah pertunjukan yang menghibur dan mendidik. Nama “Lenong” diperkirakan berasal dari istilah “lenongan” yang berarti pentas atau pertunjukan, dan sejak saat itu Lenong berkembang menjadi bagian dari budaya Betawi yang tak tergantikan.
Dua Wajah Lenong: Denes dan Preman
Dalam perkembangannya, Lenong terbagi menjadi dua aliran utama: Lenong Denes dan Lenong Preman.
Lenong Denes biasanya menyajikan cerita-cerita tentang kerajaan, bangsawan, atau tokoh-tokoh penting dalam sejarah. Karakter yang ditampilkan berpakaian mewah dan ceritanya disusun lebih formal. Pertunjukan ini umumnya dilakukan di acara-acara resmi atau panggung besar.
Sementara itu, Lenong Preman mengangkat kisah-kisah rakyat biasa. Gaya pementasannya lebih santai, penuh canda, dan sering kali diselingi improvisasi lucu dari para aktor. Jenis ini lebih membumi dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi.
Elemen Khas dalam Pertunjukan Lenong
Peran Musik Gambang Kromong dalam Lenong
Salah satu elemen penting dalam Lenong adalah musik pengiringnya. Musik gambang kromong menjadi pengantar yang menghadirkan suasana khas Betawi. Kombinasi alat musik seperti gambang, kromong, tehyan, dan gong kecil menciptakan harmoni yang membangun mood cerita, menandai perubahan adegan, dan memberi efek dramatis.
Interaksi Penonton dan Improvisasi Aktor
Ciri khas lain dari Lenong adalah kemampuannya untuk melibatkan penonton secara langsung. Para aktor sering kali “berbicara” langsung ke penonton, menyindir situasi aktual, atau menanggapi respons spontan dari penonton. Ini membuat Lenong terasa sangat hidup dan membaur dengan masyarakat.
Perbedaan Gaya Lenong Denes dan Lenong Preman
Lenong Denes lebih rapi dan serius dalam struktur penceritaannya, dengan tokoh-tokoh yang aristokratik. Sementara Lenong Preman cenderung bebas, spontan, dan mengedepankan humor jalanan. Kedua jenis ini saling melengkapi dalam menjaga kekayaan teater Betawi.
Pesan Moral dalam Setiap Cerita
Di balik setiap tawa dan lelucon dalam Lenong, tersimpan pesan moral yang mendalam. Nilai-nilai seperti kejujuran, keberanian, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan menjadi inti dari hampir setiap kisah Lenong. Cerita yang disampaikan mungkin terdengar sederhana, tetapi sering kali mengandung kritik tajam terhadap situasi sosial-politik yang sedang berlangsung.
Ketika Panggung Lenong Terpinggirkan
Sayangnya, seiring berjalannya waktu dan perubahan selera masyarakat, popularitas Lenong mulai meredup. Generasi muda lebih memilih hiburan digital seperti film, media sosial, dan streaming. Minimnya tayangan Lenong di media televisi juga membuat pertunjukan ini semakin asing di telinga banyak orang. Hal ini menjadi tantangan besar bagi seniman Lenong dalam mempertahankan eksistensi budaya ini.
Upaya Pelestarian Seni Lenong di Jakarta
Berbagai upaya pelestarian dilakukan oleh komunitas budaya dan pemerintah daerah. Di beberapa wilayah Jakarta, panggung-panggung kecil masih rutin menampilkan Lenong dalam festival budaya lokal. Di Setu Babakan, misalnya, pengunjung bisa menyaksikan pementasan Lenong sambil belajar lebih dalam tentang budaya Betawi.
Selain itu, sejumlah sekolah juga mulai memasukkan Lenong dalam kurikulum seni budaya. Sanggar-sanggar seni Betawi aktif memberikan pelatihan kepada anak-anak dan remaja untuk mengenal dan memainkan peran dalam Lenong.
Lenong dan Identitas Budaya Betawi
Lenong bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah identitas. Melalui Lenong, masyarakat Betawi mengekspresikan cara pandang mereka terhadap hidup, kebijakan publik, hingga urusan rumah tangga. Semua diolah dengan gaya khas yang penuh warna dan jenaka. Panggung Lenong adalah cermin dari keseharian masyarakat Betawi dan menjadi ruang ekspresi yang bebas, terbuka, dan inklusif.
Masa Depan Lenong di Era Digital
Adaptasi Lenong di Platform Digital
Agar tetap eksis, banyak seniman kini membawa Lenong ke platform digital seperti YouTube, Instagram, dan TikTok. Mereka menciptakan konten pendek dengan gaya Lenong modern namun tetap mempertahankan nuansa klasiknya. Kolaborasi antara kreator konten dan budayawan menjadi jalan keluar yang potensial agar seni ini menjangkau lebih banyak audiens, khususnya generasi muda.
Peran Komunitas Seni dan Sekolah Budaya
Tidak kalah penting, komunitas seni dan lembaga pendidikan memiliki peran besar dalam memperkenalkan Lenong secara konsisten. Pelatihan aktor, pementasan rutin, dan festival seni Betawi harus terus di gelar sebagai upaya regenerasi. Dengan begitu, Lenong bisa terus bernapas dan berkembang seiring zaman.
Lenong Bukan Sekadar Lelucon: Tapi Napas Budaya yang Harus Dijaga
Lenong Betawi bukan hanya panggung hiburan—ia adalah napas dari budaya rakyat yang menyuarakan tawa, kritik, dan kebijaksanaan dalam satu waktu. Di tengah modernisasi dan gempuran budaya luar, keberadaan Lenong ibarat lentera yang menyala untuk menjaga identitas lokal tetap hidup. Sudah saatnya kita bersama-sama merawat dan menghidupkan kembali panggung ini, karena selama Lenong masih berdiri, suara rakyat akan terus bergema dari balik layar dan tirai.